Kamis, 21 November 2013

Kapok Lombok

Kapok lombok. Istilah yang sudah lama terngar. Pedasnya cabai, yang meskipun membuat lidah panas, mulut terasa ndower, tapi tetap membuat orang tidak kapok menukmati pedasmyalagi. Barangkali kapok lombok mirip seperti cinta yang bertepuk sebelah tqngan. Meskiun pedas dan panas di hati, tapi tetap saja mencintai. Karena cintayang menyakitkan itu punya taste g gakbiasa. Indah, eskipun menyakitkan. Kapok lombok ini juga cocok untuk orang yang bandel. Bandel menggosip. Meskipun sudah dinasehati, ditegur, diprotes, sampai dikucilkan, gak menghalangi mereka untuk menggosip kembali. Bagi mereka, hari gak afdol rasanya jika tak menggosip. Yah, banfel memang identik dengan kapok lombok. Begitu pula dengan saa, yang mana aalah salah satu pelaku kapok lombok. Permisi. ...

Rabu, 20 November 2013

Bertahan dalam Dilema

Dan inilah yang paling kubenci. Harus bertahan di dalam nafas yang sesak. Ingin lari, namun tak bisa. Bagai rusa yang dikejar pemburu, ingin lari, melompat ke tanah seberang, tapi tak temukan lompatan saat akan melewati sungai. Tak lari, terjepit. Nekad lari pun, mati. Aku termenung. Aku terdiam. Ingin rasanya aku nekad. Tapi nurani ini tak mengijinkannya. Pertimbanganku pun banyak. Salah satunya adalah karena orang-orang terdekatku. Bimbang. Ku berdoa, agar dapat menemukan jalan emas.

Puncak Kangen

Puncak kangen adalah ketika tidak bertemu, tidak saling sms, BBM, atau telepon, tapi mendoakan dalam hati satu sama lain. Itulah kata-kata yang disampaikan Sujiwo Tedjo dalam pentas seni yang digelar di Surabaya kemarin. Istimewa. Itu kata yang saya ucapkan dalam hati saat membaca kutipan Jawa Pos tentang kata-kata Sujiwo Tedjo. Saya pun merenung sebentar dan tersadar,berarti apa yang saya alami selama ini adalah puncak kangen. Ketika saya sangat kangen dengan keluarga saya, saya selalu mendoakan mereka dalam hati. Tidak muluk-muluk, say mendoakan mereka dalam waktu singkat. Dan itu terjadi secara spontanitas. Di sela-sela jam kerja misalnya. Namun itu tidak mengganggu aktivitas kerja saya di kantor. Dan terkadang, saya pun sering teringat kepada seorang teman. Seorang teman yang sangat spesial. Dia adalah inspirasi dan panutan saya dalam menjadi pribadi yang lebih baik. Sudah satu tahun lebih ini saya tidak dapat bertemu dengannya. Dia adalah orang yang sangat baik, low profile, dan bijak. Saya senang ketika berdiskusi atau curhat kepadanya. Pandangannya perspektif dan objektif. Dia adalah orang yang sabar, telaten dan seorang pendengar yang baik. Dan hatinya tulus. Itulah hal yang membuat dia begitu spesial bagi saya. Saya selalu ingin bertemu dengannya tapi tak bisa. No contact. Dan di saat seperti itu, saat puncak kngen saya saya s akan mendoakan di, agar dalam setiap langkahmya dia selalu diberkati, dilindungi dan diterangi langkahnya. Agar sehat selalu dan dicukupkan segala kebutuhannya. Dimudahkan usaha baiknya & sukses mencapai cita citanya. Itulah doa seorang teman. Dan mungkin, ketika puncak kangen itu telah sangat dalam dan sering kali terjadi, maka akan berjalan dalam bawah sadar. Kita akan bertemu dengannya dalam mimpi.

Musyawarah

kemarin,baru saja saya berdialog dengan seorang teman lama. Dia adalah mahasiswa semester 3. Topik yang kita bicarakan tergolong rinngan,musyawarah. Dia bercerita tentang kekesalannya pada negara ini. tidak ada musyawarah yang dirasa sama dengan paham pancasila, yang sejak SD sampai SMA disampaikan dalam setiap pertemuan mata pelajaran PKN. Semuanya itu hanyalah teori belaka. Hanya seperti formalitas belaka. kelihatannya memang, berkumpul satu meja, merapatkan permasalahan yang ada, lalu mencari solusinya bersama. Tapi, yang dibahas sebenarnya adalah, menyelesaikan permasalahan masing-masing individu. Mencari aman dan selamat diri sendiri. Memang sih, kelihatannya setelah hasil musyawarah itu dilakukan realisasi dari hasil musyawarah, tapi, dalam jangka waktu yang relatif pendek, ujung-ujungnya toh balik lagi, ke jalan sesat. Balik lagi pada trobel yang sama. Mbulet lagi. Ruwet lagi. Gak dari pejabat sampek anak kuliahan, semua prinsipnya sama saja. Musyawarah yang mana sarana untuk mencapai mufakat malah jadi ajang menyelamatkan diri sendiri, mencari untung sendiri. Malah mungkin disempatkan untuk guyonan. Banyak dari kita yang sebenarnya sudah jenuh, putus asa melihat hasil dari ini semua. Muayawarah yang percuma. Barangkali, negara demokrasi yang berubah menjadi negara otoriter dan diktator, mungkin dahulunya punya sejarah yang miris. Terlanjur pesimis melihat fakta yang tidak sesuai dengan harapan. Demokrasi yang tidak berjalan, yang mana pada akhirnya dirasa, mungkin lebih baik diktator tapi ada hasil, daripada demokrasi tidak berbuah hasil. Barangkali.